TROCOH

Saya punya banyak teman vegetarian, tapi tidak punya satu pun teman kanibal.” ( You Are What You Eat, hal.137)

Ya iya sih dan saya terkesima. Ya bener juga ga pernah kepikiran dan ga akan nanya juga temennya makan apa. Diakhiri dengan rumor yang beredar dari mulut ke telinga tentang desa kanibal, tulisan mas Budi You Are What You Eat membuat saya tersenyum pada essai nya tentang film-film bertema kanibal. 

Buku ini membawa saya kembali ke masa lalu, nostalgia. Tulisan pertama mas Budi membawa saya ke masa-masa yang saya akui membuat saya bingung, sebenernya saya kuliah dimana di ITB. Di ruangan di belakang ruang bioskop kampus 9009 yang tiap Rabu malam memutar film lewat  pemutar seluloid tuanya atau di gedung biru, belajar tentang fisika oseanografi. Ingatan langsung terlempar di hari Rabu sore saat lagu mars diputar dan bergema di lorong tua klub film itu, yang ternyata adalah potongan lagu milik Eddie Calvert – Gabbie (Lagu Nostalgia Gebrak-gebrak Meja). Atau bernostalgia dengan lagu-lagu milik Sheila on 7 yang mendayu-dayu, siapa yang ga terngiang-ngiang lagu Dan atau Sephia (Sheila on My Mind) atau malah lagu yang begitu tenarnya di masa kecil tapi mas Budi malah membahas topi yang dipake sama penyanyinya. Untuk anak kecil yang ga memperhatikan topinya saya malah tertarik sama gayanya pake kaca mata hitam sambil bernyanyi dengen suara serak-serak basah, dan selalu mengira kalo Gombloh itu buta. (Di Studio, Aku Incar Topi Kesayanganmu). Mas Budi tak lupa membawa memori saya ke masa-masa kejayaan lagu-lagu anak, lagu Melissa – Abang Tukang Bakso (Satu Mangkok Saja, Dua Ratus Perak), atau lagunya Susan dan Kak Ria Enes – Suzan Punya Cita-cita (Gantungkan Cita-citamu Setinggi Atap) dan Paman Datang milik Tasya (Paman yang Paling Indah adalah Paman Kikuk ). Bahkan dari Mengingat Kau Penuh Seluruh, saya jadi tahu mas Budi pun ternyata punya koleksi kaset lagu anak-anak hadiah dari susu Dancow dan ada mas Budi juga nonton anime-anime robot Jepang yang saya saksikan lewat kaset beta sewaan. Iringi Deru-deru Mesinmelempar saya ke perjalanan darat lintas Sumatera-Jawa 6 hari 6 malam ditemani lagu Terminal milik Franky Sahilatua ft. Iwan Fals di tahun 1993 yang diputar berulang kali oleh papa saya di cassete player mobil Izusu Carry merah atau lagu Resesi milik Chrisye yang akhirnya bisa saya dengarkan lagi lewat https://iramanusantara.org yang mengigatkan saya pada 4 laci koleksi kaset milik almarhum papa saya yang harus ditinggal saat kami pindah meninggalkan kota Medan (Punk Pink Ponk!).

Di tulisan lain, saya terkagum-kagum pada ingatan mas Budi yang masih ingat pada pidato presiden Soeharto yang menyebutkan tentang Senam Pagi Indonesia (SPI) (Empat Menit, Sehat Sempurna) atau pidato Soekarno yang menentang berkembangnya musik barat dikalangan anak muda di akhir era 60-an (Adrianoslan Huseilentano). Siapa yang mendengarkan pidato kenegaraan di tanggal 16 Agustus ya kalau bukan mas Budi. 

Di satu sisi, membaca essai-essai ini membuka mata saya tentang khasanah musik Indonesia yang ternyata dalam sejarahnya menghasilkan banyak musik-musik indah dan mencatat pergulatan kehidupan di masanya sebagaimana sebuah karya seni mencatat perjalan sejarah sebuah masa. Saya tidak pernah mencari tahu tentang sejarah musik Indonesia, tapi membaca buku ini membuka mata saya pada legenda-legenda musik yang ternyata jauh sebelum saya mengenal namanya, mereka memainkan ‘genre’ musik yang berbeda. Saya jadi ingat cerita seorang dosen senior,  dimasa mudanya, di rumah mahasiswa di depan kampus gajah sering mengadakan pesta dansa cha cha cha , mengundang mahasiswi dari kampus sebelah (sebelah mana saya tidak tahu sayangnya). Setelah membaca  Adrianoslan Huseilentano, bukan sebuah kemungkinan, bisa saja  lagu yang dipasang untuk pesta dansa itu adalah adalah lagu Papaja Cha Cha Cha, lagu milik Adikarso yang dirilis tahun 1960. 

Dari kesemua ini, mungkin yang paling saya kagumi adalah keuletan mas Budi mencari jawab atas rasa penasaran yang dia miliki. Mencari lagu asli dari lagu yang terputar hanya sepenggal sebagai pembuka bioskop kampus sebelum masa “hai, Siri, what song is this?” saya yakin bukan perkara mudah. Belum lagi mas Budi bisa menemukan buku lawas yang sampulnya dengan atau dengan tidak sengaja dijadikan sampul sebuah album kompilasi lagu lawas (mungkin memang sengaja agar anak-anak seangkatan mas Budi bisa merasakan nostalgianya) (Rahasia Ilmu yang Ringan-ringan Saja ). Benar-benar punya ingatan yang tajam. Saya curiga mas Budi juga terilhami oleh Fox Mulder dan Dana Scully yang mencari kebenaran di luar sana.

Saya terdengar bias mereview buku ini karena saya memang sejak lama mengagumi gaya menulis mas Budi. Beliau adalah KineKlub legend di klub yang saya ikuti. Dia memperkenalkan saya pada film-film asing selain film-film Hollywood. Saya sadari, kecintaan saya pada film-film Korea pun dimulai dari vcd-vcd bajakan hasil kurasi mas Budi. Selain itu tulisannya yang terasa seperti obrolan santai di ruang santai saat hujan ditemani teh atau kopi, ngalor ngidul dan terlempar ke masa lalu, dari satu topik ke topik lain dengan benang merah yang mengikat, selalu saya kagumi. Sebelumnya saya adalah pembaca blog miliknya, budiwarsito.net, disana saya pertama kali membaca Gamelan untuk Ndoro Alien dan langsung penasaran dengan lagu Ketawang Puspawarna yang albumnya menurut tulisan di buku ini adalah salah satu lagu dari album yang pernah masuk nominasi Grammy tahun 1972. Biarpun beberapa essai tidak bisa saya mengerti, tapi beberapa tulisan sangat dekat di hati, salah banyaknya Enam Buku dari Masa Itu atau Nasihat yang Baik. 

Mengutip mas Budi di epilog buku ini , Mengingat Kau Penuh Seluruh, “Demikian pula dun tulis-menulis. Hari-hari lampau yang dulu encer di ingatan saya, dibekukan di buku ini sebelum mereka menguar lenyap ditelan waktu; “ (hal.275), membaca buku ini membuat saya merasa seperti di ruangan penuh rak-rak arsip dengan ingatan saya yang berserak dan menjadi terpancing untuk mendikumentasikan serta merapihkannya untuk Bhumi, untuk saya sebenernya. Mungkin ceritanya akan biasa-biasa saja, kehidupannya hampir membosankan tanpa distraksi perangkat elektronik, mundane kata anak sekarang, tapi seperti kata mas Budi, kesenangan masa kecil kala itu adalah menunggu kartun di hari Minggu pagi seperti Doraemon dan Dash Yankuro (Take-tombo, Tombo-ati) atau menunggu edisi Bobo atau komik terbaru adalah kesenangan tiada terganti.

Satu lagi, sejak essai pembuka, saya jadi kepikiran untuk memiliki pemutar vinyl. Selama ini saya merasa dengan kondisi masih berpindah kesana kemari, memiliki koleksi vinyl akan menambah beban pindahan. Tapi dengan keinginan menetap, saya jadi terpikir untuk nembeli si pemutar vinyl ini. Mungkin menunggu niat dan bujet yang tepat.